ASKEP EPILEPSI

20.55 Edit This 0 Comments »

Askep epilepsi

A. Pengertian

Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto, 2007)

Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000)

Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neron-neron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik (anonim, 2008)

B.Etiologi

Penyebab pada kejang epilepsi sebagianbesara belum diketahui (Idiopatik) Sering terjadi pada:

1.Trauma lahir, Asphyxia neonatorum

2.Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf

3.Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol

4.Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)

5.Tumor Otak

6.kelainan pembuluh darah

(Tarwoto, 2007)

C.Patofisiologi

Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-jutaneron. Pada hakekatnya tugas neron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik sarafyang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan nerotransmiter. Acetylcholine dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik saran di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar kebagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.

D.Manifestasi klinik

1.Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan penginderaan

2.Kelainan gambaran EEG

3.Tergantung lokasi dan sifat Fokus Epileptogen

4.Dapat mengalami Aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, men cium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya)

E.Klasifikasi kejang

1.Kejang Parsial

a.Parsial Sederhana

Gejala dasar, umumnya tanpa gangguan kesadaran Misal: hanya satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak Dengan gejala sensorik khusus atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa yang tidak umum/tdk nyaman

b.Parsial Kompleks

Dengan gejala kompleks, umumnya dengan ganguan kesadaran

Dengan gejala kognitif, afektif, psiko sensori, psikomotor. Misalnya: individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, tetapi individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus tersebut lewat

2.Kejang Umum (grandmal)

Melibatkan kedua hemisfer otak yang menyebabkan kedua sisi tubuh bereaksi Terjadi kekauan intens pada seluruh tubuh (tonik) yang diikuti dengan kejang yang bergantian dengan relaksasi dan kontraksi otot (Klonik) Disertai dengan penurunan kesadaran, kejang umum terdiri dari:

a.Kejang Tonik-Klonik

b.Kejang Tonik

c.Kejang Klonik

d.Kejang Atonik

e.Kejang Myoklonik

f.Spasme kelumpuhan

g.Tidak ada kejang

3.Kejang Tidak Diklasifikasikan/ digolongkan karena datanya tidak lengkap.

F.Pemeriksaan diagnostik

1.CT Scan à untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral

2.Elektroensefalogram(EEG) à untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan

3.magnetik resonance imaging (MRI)

4.kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.

G.Penatalaksanaan

1.Dilakukan secara manual, juga diarahkan untuk mencegah terjadinya kejang

2.Farmakoterapià anti kovulsion untuk mengontrol kejang

3.Pembedahanà untuk pasien epilepsi akibat tumor otak, abses, kista atau adanya anomali vaskuler

4.jenis obat yang sering digunakan

a.Phenobarbital (luminal). P

Paling sering dipergunakan, murah harganya, toksisitas rendah.

b. Primidone (mysolin)

–Di hepar primidone di ubah menjadi phenobarbital dan phenyletylmalonamid.

c.Difenilhidantoin (DPH, dilantin, phenytoin).

–Dari kelompok senyawa hidantoin yang paling banyak dipakai ialah DPH. Berhasiat terhadap epilepsi grand mal, fokal dan lobus temporalis.

Tak berhasiat terhadap petit mal.

–Efek samping yang dijumpai ialah nistagmus,ataxia, hiperlasi gingiva dan gangguan darah.

d.Carbamazine (tegretol).

Mempunyai khasiat psikotropik yangmungkin disebabkan pengontrolan bangkitan epilepsi itusendiri atau mungkin juga carbamazine memang mempunyaiefek psikotropik.

–Sifat ini menguntungkan penderita epilepsi lobus temporalis yang sering disertai gangguan tingkahlaku.

–Efek samping yang mungkin terlihat ialah nistagmus, vertigo, disartri, ataxia, depresi sumsum tulang dan gangguanfungsi hati.

e. Diazepam.

–Biasanya dipergunakan pada kejang yang sedang berlangsung (status konvulsi.).

Pemberian i.m. hasilnya kurang memuaskan karena penyerapannya lambat. Sebaiknya diberikan i.v. atau intra rektal.

f.Nitrazepam (inogadon).

–Terutama dipakai untuk spasme infantil dan bangkitan mioklonus.

g.Ethosuximide (zarontine).

–Merupakan obat pilihan pertama untuk epilepsi petit mal

h. Na-valproat (dopakene)

–obat pilihan kedua pada petit mal

–Pada epilepsi grand mal pun dapat dipakai.

obat ini dapat meninggikan kadar GABA di dalam otak.

–Efek samping mual, muntah, anorexia

i.Acetazolamide (diamox).

Kadang-kadang dipakai sebagai obat tambahan dalam pengobatan epilepsi.

–Zat ini menghambat enzim carbonic-anhidrase sehingga pH otak menurun, influks Na berkurang akibatnya membran sel dalam keadaan hiperpolarisasi.

j.ACTH

–Seringkali memberikan perbaikan yang dramatis pada spasme infantil.

H.Pengkajian

1.riwayat kesehatan

a.riwayat keluarga dengan kejang

b.riwayat kejang demam

c.tumor intrakranial

d.trauma kepal terbuka, stroke

2.riwayat kejang

a.berapa sering terjadi kejang

b.gambaran kejang seperti apa

c.apakah sebelum kejang ada tanda-tanda awal

d.apa yang dilakuakn pasien setelah kejang

3.riwayat penggunaan obat

a.nama obat yang dipakai

b.dosis obat

c.berapa kali penggunaan obat

d.kapan putus obat

4.pemeriksaan fisik

a.tingkat kesadaran

b.abnormal posisi mata

c.perubahan pupil

d.garakan motorik

e.tingkah laku setelah kejang

f.apnea

g.cyanosis

h.saliva banyak

5.psikososial

a.usia

b.jenis kelamin

c.pekerjaan

d.peran dalam keluarga

e.strategi koping yang digunakan

f.gaya hidup dan dukungan yang ada

6.pengetahuan pasien dan keluarga

a.kondisi penyakit dan pengobatan

b.kondisi kronik

c.kemampuan membaca dan belajar

7.pemeriksaan diagnostik

a.laboratorium

b.radiologi

I.Diagnosa keperawatan

1.resiko injury b/d aktivitas kejang

2.resiko tinggi tidak efektif jalan nafas, pola nafas b/d kerusakan persepsi

3.cemas b/d terjadinya kejang

4.kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan

J.intervensi keperawatan

1.Dx: resiko tinggi tidak efektif jalan nafas, pola nafas b/d kerusakan persepsi

Intervensi:

Mandiri

  1. Anjurkan pasien untuk mengosongkan mulut dari benda/zat tertentu/gigi palsu atau alat yang lain jika fase aura terjadi dan untuk menghindari rahang mengatup jika kejang terjadi tanpa ditandai gejala awal.
  2. Letakkan pasien pada posisi miring, permukaan datar, miringkan kepala selama serangan kejang.
  3. Tanggalkan pakaian pada daerah leher/abdomen.
  4. Masukkan spatel lidah atau gulugan benda lunak sesuai dengan indiksi.
  5. Lakukan penghisapan sesuai indikasi.

Kolaborasi

  1. Berikan tambahan oksigen sesuai kebutuhan pada fase posiktal.
  2. Siapkan untukmelakukan intubasi, jika ada indikasi

2. Dx: Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan

Mandiri

  1. Jelaskan kembali mengenai patofisiologi/ prognosis penyakit dan perlunya pengobata/penanganan dalam jangka waktu yang lama sesuai indikasi.
  2. Tinjau kembali obat-obat yang didapat, penting sekali memakan obat sesuai petunjuk, dan tidak menghentikan pengobatan tanpa pengawasan dokter. Termasuk petunjuk untuk pengurasi dosis.
  3. Berikan petunjuk yang jelas pada pasien untuk minum obat bersamaan dengan waktu makan, jika memungkinkan.
  4. Diskusikan mengenai efek samping secara khusus, seperi mengantuk, hiperaktif, gangguan tidur, hipertrofi pada gusi, gangguan penglihatan, mual/muntah, ruam pada kulit, sinkope/ataksia, kelahiran yang terganggu dan anemia aplastik.
  5. Anjurkan pasien untuk menggunakan semacam gelang identifikasi/semacam petunjuk yang memberitahukan bahwa pasien adalah penderita epilepsi.
  6. Tekankan perlunya untuk melakukan evaluasi yang teratur/melakukan pemeriksaan laboratorium yang teratur sesuai dengan indikasi, seperti darah lengkap harus diperiksa minimal dua kali dalam satu tahun dan munculnya sakit tenggorok atau demam.
  7. Bicarakan kembali kemungkinan efek dari perubahan hormonal
  8. Diskusikan manfaat dari kesehatan umum yang baik, seperti diet yang adekuat, istirahat yang cukup, latihan yang cukup dan hindari bahaya, alkohol, kefein dan obaat yang dapat menstimulasi kejang.
  9. Tinjau kembali pentingnya kebersihan mulut dan perawatan gigi teratur.
  10. Identifikasi perlunya penerimaan terhadap keterbatasan yang dimiliki, diskusikan tindakan keamanan yang diperhatikan saat mengemudi, menggunakan alat mekanik, panjat tebing, berenang, hobi dan sejenisnya.

Konsep Medis

A. Definisi
Epilepsi merupakan gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak yang dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Kejang merupakan akibat dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebral yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran ringan, aktivitas motorik, atau gangguan fenomena sensori.

B. Etiologi
1. Epilepsi Primer (Idiopatik)
Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal.
2. Epilepsi Sekunder (Simtomatik)
Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawah sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk cedera selama atau sebelum kelahiran), gangguan metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikemi, fenilketonuria (PKU), defisiensi vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol, uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan neoplasma.

C. Patofisiologi
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.
Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
§ pengaktifan.
Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan
§ muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan nuatan menurun secara berlebihan.
Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi,
§ atau selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
Ketidakseimbangan ion yang
§ mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.

Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin mmuncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.

D. Manifestasi Klinis
1. Sawan Parsial (lokal, fokal)
a. Sawan Parsial Sederhana : sawan parsial dengan kesadaran tetap normal
• Dengan gejala motorik
- Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu bagian tubuh saja
- Fokal motorik menjalar : sawan dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
- Versif : sawan disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.
- Postural : sawan disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu
- Disertai gangguan fonasi : sawan disertai arus bicara yang terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
• Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial; sawan disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan yang disertai vertigo.
- Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.
- Visual : terlihat cahaya
- Auditoris : terdengar sesuatu
- Olfaktoris : terhidu sesuatu
- Gustatoris : terkecap sesuatu
- Disertai vertigo
• Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil).
• Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
- Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau bagian kalimat.
- Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
- Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
- Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
- Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar.
- Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara, musik, melihat suatu fenomena tertentu, dll.
b. Sawan Parsial Kompleks (disertai gangguan kesadaran)
• Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun.
- Dengan gejala parsial sederhana A1-A4 : gejala-gejala seperti pada golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
- Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu, dll.
• Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak permulaan kesadaran.
- Hanya dengan penurunan kesadaran
- Dengan automatisme
c. Sawan Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik)
• Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.
• Sawan parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.
• Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan umum.

2. Sawan Umum (Konvulsif atau NonKonvulsif)
a. 1. Sawan lena (absence)
Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya sawan ini berlangsung selama ¼ - ½ menit dan biasanya dijumpai pada anak.
• Hanya penurunan kesadaran
• Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
• Dengan komponen atonik. Pada sawan ini dijumpai otot-otot leher, lengan, tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai.
• Dengan komponen klonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot ekstremitas, leher atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang.
• Dengan automatisme
• Dengan komponen autonom.
b hingga f dapat tersendiri atau kombinasi
2. Lena tak khas (atipical absence)
Dapat disertai:
• Gangguan tonus yang lebih jelas.
• Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.

b. Sawan Mioklonik
Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.

c. Sawan Klonik
Pada sawan ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.
d. Sawan Tonik
Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Sawan ini juga terjadi pada anak.
e. Sawan Tonik-Klonik
Sawan ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu sawan. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ - ½ menit diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
f. Sawan atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan ini terutama sekali dijumpai pada anak.

3. Sawan Tak Tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti sederhana.

E. Pemeriksaan Diagnostik
Pungsi Lumbar
§
Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan setelah kejang demam pertama pada bayi.
- Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh : kaku leher)
- Mengalami complex partial seizure
- Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam sebelumnya)
- Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat)
- Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga sekitar 1 jam setelah kejang demam adalah normal.
- Kejang pertama setelah usia 3 tahun
Pada anak dengan usia > 18 bulan, pungsi lumbar dilakukan jika tampak tanda peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan infeksi sistem saraf pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah menerima terapi antibiotik sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu pada kasus seperti itu pungsi lumbar sangat dianjurkan untuk dilakukan.
EEG (electroencephalogram)
§
EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan datang. Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang demam atau risiko epilepsi.

Pemeriksaan laboratorium§
Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium, fosfor, magnsium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama. Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin.
§ Neuroimaging
Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-scan dan MRI kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi untuk pertama kalinya.

F. Pencegahan
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini.
G. Pengobatan
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.
Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama pengobatan tergantung jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-3th sudah cukup, sedang yang berat pengobatan bisa lebih dari 5th. Penghentian pengobatan selalu harus dilakukan secara bertahap. Tindakan pembedahan sering dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek sama sekali.
Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap kecerdasannya. Jika terlambat mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan mental. Keterbelakangan mental di kemudian hari. Kondisi yang menyedihkan ini bisa berlangsung seumur hidupnya.
Konsep Keperawatan
A. Pengkajian
Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat kejang pasien. Pasien ditanyakan tentang faktor atau kejadian yang dapat menimbulkan kejang. Asupan alkohol dicatat. Efek epilepsi pada gaya hidup dikaji: Apakah ada keterbatasan yang ditimbulkan oleh gangguan kejang? Apakah pasien mempunyai program rekreasi? Kontak sosial? Apakah pengalaman kerja? Mekanisme koping apa yang digunakan?
Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu dalam mengindentifikasi tipe kejang dan penatalaksanaannya.
1. Selama serangan :
- Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan.
- Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
- Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
- Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang klonik, kejang tonik-klonik, kejang mioklonik, kejang atonik.
- Apakah pasien menggigit lidah.
- Apakah mulut berbuih.
- Apakah ada inkontinen urin.
- Apakah bibir atau muka berubah warna.
- Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi.
- Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada satu sisi atau keduanya.
2. Sesudah serangan
- Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit, gangguan bicara
- Apakah ada perubahan dalam gerakan.
- Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan.
- Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau frekuensi denyut jantung.
- Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang.
3. Riwayat sebelum serangan
- Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi.
- Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar.
- Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori, auditorik, olfaktorik maupun visual.
4. Riwayat Penyakit
- Sejak kapan serangan terjadi.
- Pada usia berapa serangan pertama.
- Frekuensi serangan.
- Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti demam, kurang tidur, keadaan emosional.
- Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang disertai dengan gangguan kesadaran, kejang-kejang.
- Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak
- Apakah makan obat-obat tertentu
- Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga

B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan perubahan kesadaran, kerusakan kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan diri.
2. Resiko tinggi terhadap bersihan jalan napas/pola napas tidak efektif.
3. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang pemajanan, atau kesalahan interpretasi informasi.
4. Gangguan harga diri berhubungan dengan stigma berkenaan dengan kondisi, persepsi tentang tidak terkontrol

0 komentar: